Cerpen : Langkah Kecil di Hari Besar
LANGKAH KECIL DI HARI BESAR
Hari
itu, 2 Mei 2025, matahari bersinar malu-malu di balik awan tipis. Aku, Kaisa,
berdiri di depan lapangan upacara MTsN 2 Bogor dengan wajah yang pucat dan dada
yang sedikit bergetar. Ini adalah Hari Pendidikan Nasional—hari yang kami
persiapkan selama berminggu-minggu. Tapi bukan hanya karena upacara, pidato,
atau lomba-lomba. Hari ini, aku punya misi kecil: mengingatkan teman-teman
bahwa pendidikan bukan cuma soal buku dan nilai, tapi soal harapan dan
keberanian.
Sebagai Ketua OSIS, tugasku pagi ini adalah menyampaikan pidato singkat seusai
upacara bendera. Tapi bagiku, ini bukan hanya sekadar pidato. Ini adalah inspirasi
dan suara hati dari seorang murid, untuk semua murid.
Ketika mikrofon diberikan padaku, aku sempat melihat ke arah teman-temanku yang
duduk bersila di bawah tenda. Ada yang tampak mengantuk, ada yang mencuri-curi
senyum, tapi ada juga yang menatap penuh perhatian. Aku menarik nafas…
"Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Hari ini kita merayakan Hari Pendidikan Nasional. Tapi mari kita jujur—beberapa
dari kita pasti merasa sekolah itu kadang melelahkan bukan? Terkadang aku pun merasa
begitu. Tapi teman-teman, pendidikan bukan hanya soal menghafal rumus atau
mengejar ranking. Pendidikan adalah tentang tumbuh.
Dulu aku malu bicara di depan umum. Aku takut salah, dan takut ditertawakan.
Tapi guru-guru kita tak lelah membimbing, menuntun, bahkan saat kita sendiri
ragu. Pendidikan bukan hanya terjadi di kelas. Ia hidup dalam semangat kita
saat gagal, lalu bangkit lagi.
Mari kita rayakan Hari Pendidikan Nasional dengan langkah kecil: seperti berani
bertanya, dengan saling bantu, dan menghargai setiap guru dan teman kita.
Karena bangsa yang besar dimulai dari hati yang mau belajar.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. Mari terus belajar, bukan hanya untuk
pintar, tapi untuk bijak.”
Tepuk tangan pun terdengar. Mungkin karena aku Ketua OSIS, atau mungkin karena
mereka memang benar-benar mendengarkan. Tapi bagiku, satu senyum dari teman
yang biasanya diam saja sudah cukup. Senang rasanya jika namaku terukir di
dalam proses mereka, pidatoku menjadi inspirasi bagi mereka yang ingin tumbuh.
Setelah pidato, kami menggelar berbagai lomba seperti: cerdas cermat, puisi,
kaligrafi, dan pojok baca. Tapi yang paling aku banggakan adalah satu kegiatan
sederhana yang kusebut “Pohon Harapan”. Di lapangan, kami memasangkan sebuah
papan besar berbentuk pohon. Setiap murid boleh menuliskan harapan mereka
tentang pendidikan di daun-daun kertas warna-warni, lalu menempelkannya di
sana.
Aku membaca beberapa harapan:
- "Aku ingin jadi guru ngaji seperti Ustazah Khodijah."
- "Semoga Madrasah kita bisa punya perpustakaan yang lebih besar."
- "Aku ingin semua anak bisa sekolah."
Aku diam sejenak. Daun-daun itu mengingatkanku bahwa pendidikan bukan hanya
tentang hari ini. Ia adalah janji masa depan. Mempunyai cita-cita tetapi tak
ingin berkorban, maka kegagalanlah yang nanti akan didapatkan.
Sore itu, saat semua kegiatan selesai dan teman-teman mulai pulang, aku berdiri
di depan Pohon Harapan. Aku menuliskan satu daun terakhir.
"Semoga kita semua tidak pernah lelah belajar, walau kadang lelah
sekolah."
Hari Pendidikan Nasional tahun 2025 ini bukan sekadar seremoni. Ia adalah langkah
kecil menuju masa depan yang besar. Dan aku bangga bisa menjadi bagian darinya.
---
Editor : Crew Humas MTsN 2 Bogor
Komentar